Rabu, 24 November 2010

Bupati Tamiang mutasi pejabat

Friday, 19 November 2010 02:15

KUALASIMPANG - Pelaksanaan mutasi dan promosi jabatan di lingkungan Pemkab Aceh Tamiang tetap akan dilaksanakan, sesuai tuntutan organisasi dan kebutuhan dalam memberikan pelayanan publik yang maksimal bagi masyarakat di daerah itu.

"Pemkab Aceh Tamiang sedang menyusun reposisi jabatan dengan mempertimbangkan kompetensi pejabat yang akan ditetapkan," kata Bupati Aceh Tamiang, Abdul Latief, tadi malam.

Menurut bupati, sebelum melakukan promosi dan mutasi jabatan harus mengevaluasi terlebih dahulu tentang kinerja pejabat sesuai peraturan yang berlaku.

“Hanya saja untuk saat ini belum, namun pasti akan ada mutasi dan promosi jabatan di lingkungan Pemkab Aceh Tamiang,” ujar Latief yang tidak menyebutkan nama pejabat yang akan dimutasi dan dipromosikan itu.

Ketika didesak, bupati mengaku sedang mengevaluasi para pejabat tersebut. ”Nama-namanya sudah ada pada kami, mohon bersabar karena tidak baik kalau sekarang diumumkan,” terang Latief.

Kata Latief, ada poin penting yaitu agar tidak memutasikan pejabat pengelolaan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang melaksanakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun anggaran berjalan.

”Terkecuali jika pejabat yang bersangkutan dipromosikan dan atau yang bersangkutan melanggar peraturan pemerintah Nomor 53 tahun 2010 atau terlibat permasalahan hukum dan telah ditetapkan sebagai terdakwa oleh aparat penegak hukum,” tegas Latief.

Bupati menambahkan, pelaksanaan tahun anggaran 2010 sedang berjalan, hanya menunggu masa berakhirnya, jadi bila terjadi pergeseran akan mempersulit pertanggungjawaban anggaran berjalan.

“Kami sudah punya pengalaman masa lalu karena adanya mutasi dan promosi jabatan, maka akan ada pejabat yang saling 'buang badan' dalam hal pertanggungjawaban,” ungkap Latief

sumber : Waspada online

Sungai Sikundur Meluap, Tenggulun Lumpuh

* 56 KK Mengungsi, Sekolah Diliburkan
Wed, Nov 24th 2010, 10:43

KUALA SIMPANG - Hujan deras yang mengguyur wilayah pegunungan Aceh Tamiang sejak dua hari terakhir menyebabkan Sungai Sikundur, di Kecamatan Tenggulun, meluap pada Selasa (23/11) dini hari. Selain semua desa di Kecamatan Tenggulun dan sebagian Kecamatan Tamiang Hulu terendam air setinggi 50 Cm, juga sebanyak 56 KK warga terpaksa mengungsi. Sementara sejumlah sekolah terpaksa diliburkan.

Pantauan Serambi, air sungai mulai meluap sekitar pukul 06.00 WIB, di Desa Simpang Jernih dan Pante Kera, Aceh Timur. Sekitar pukul 10.00 WIB, luapan sungai mencapai Desa Simpang Kiri dan Tenggulun di Aceh Tamiang.

Jalan satu-satunya warga Tenggulun melalui Simpang Mapoli Raya sepanjang 15 Km masih belum bisa dilalui. Pasalnya, genangan air mencapai satu meter lebih. Untuk menuju ke Tenggulun, warga harus melalui jalur darat perkampungan Halban Jati, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Namun, jalan darat ini pun dilaporkan tak bisa dilalui hingga ke Simpang Kiri. Air juga menggenangi jalanan perbatasan Aceh-Sumatera Utara.

Desa lain di Kecamatan Tenggulun yang ikut tergenang luapan Sungai Sikundur adalah, Desa Rimba Sawang, Tenggulun, Simpang Kiri, Kampung Selamat, dan Tebing Tinggi. “Semua desa dalam kondisi lumpuh, banyak warga sudah mengungsi. Tapi ada sebagian yang masih bertahan,” kata Camat Tenggulun, Rafie.

Akibat musibah tersebut, sebanyak 56 KK warga Simpang Kiri, terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Sementara warga Desa Tenggulun dan sekitarnya masih bertahan di rumah kerabat mereka dalam Kecamatan Tenggulun.

Meluas
Banjir akibat luapan Sungai Sikundur juga dikabarkan meluas hingga ke Kecamatan Tamiang Hulu dan Bendahara. Empat desa di Kecamatan Tamiang Hulu yakni, Desa Rongoh, Kaloy, Kampung Tempel, dan Alue Seuneubok juga ikut tergenang. Luapan sungai telah menyebabkan ratusan rumah terendam air setinggi 50 centimeter.

Hingga sore kemarin, banjir meluas hingga ke Desa Rantau Pakam, Kecamatan Bendahara. Sejumlah sekolah diliburkan, 150 hektare padi umur 7-10 hari terancam mati

Bantuan darurat
Menyikapi musibah banjir yang melanda kawasan hulu Tamiang dalam dua hari terakhir, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang mulai menurunkan bantuan untuk masa panik. Namun, terputusnya akses ke Tenggulun menyebabkan distribusi bantuan sedikit terganggu.

Sekda Aceh Tamiang, Saiful Bahri juga sudah turun ke lokasi banjir di Tamiang Hulu. Sementara sejumlah anggota DPRK Tamiang, seperti Rusman (Ketua), Mustafa My Tiba (anggota), dan Marlina (anggota) juga terlihat terus memantau di lokasi banjir. Bahkan, beberapa unit boat sudah disiagakan di Dermaga Kuala Simpang.(md/yuh)

Sumber : Serambinews.com

Selasa, 23 November 2010

Murid SD Bersampan ke Sekolah

Getek tak Berfungsi
Mon, Nov 22nd 2010, 10:54

KUALA SIMPANG - Kendati baru dibuat tahun 2009 lalu dengan menghabiskan APBK Aceh Tamiang Rp 300 juta, namun getek (rakit) untuk penyeberangan warga Kampong Baleng Karang, Kecamatan Sekrak, Aceh Tamiang, hanya berfungsi selama enam bulan. Ssetelah itu rusak karena papannya berkualitas rendah.

Akibatnya sejumlah murid Sekolah Dasar (SD) desa itu terpaksa menggunakan sampan untuk menyeberangi Sungai Tamiang pergi ke sekolah di Desa Batu Bedulang, Kecamatan Bandar Pusaka. Kondisi ini dinilai sangat rawan terjadi kecelakaan pada saat air sungai meluap akibat banjir.

Datok Kampong Baleng Karang, Sabar Ali kepada Serambi, Minggu (21/11) mengatakan, karena tak ada sekolah di desanya, setiap hari anak warga terpaksa menyeberangi Sungai Tamiang dengan menggunakan boat dan sampan. “Mereka sekolah di Desa Batu Bedulang,” ujarnya.

Jika air sungai banjir, kebanyakan orang tua murid terpaksa melarang anaknya ke sekolah. “Orang tuanya tidak berani melepaskan mereka, khawatir arus sungai yang deras membalikkan sampan. Sering murid SD terbalik sampannya pada musim sungai banjir antara November dan Desember,” sebut Sabar

Sebenarnya, kata Sabar, di desa mereka sudah dibangun dua ruang belajar pada tahun 2007, bahkan peletakan batu pembangunan dilakukan oleh Bupati Aceh Tamiang. Tapi sampai sekarang tidak difungsikan, karena lantai ruang belajar itu kasar dan tanpa plafon, serta tidak ada mobiler sekolah.

“Padahal, jika dua lokal tersebut difungsikan, anak-anak warga yang duduk di bangku kelas satu bisa sekolah di desa tanpa harus menyebrangi Sungai Tamiang,” tambahnya.

Dikatakan Sabar, pada tahun 2009, pemerintah membuat proyek getek untuk penyeberangan warga dari Desa Baleng Karang ke Desa Batu Bedulang. Namun getek tersebut hanya berfungsi enam bulan setelah itu terkapar di pinggir sungai dan tidak bisa difungsikan lagi.

“Alas papan getek yang seharusnya dibuat dari kayu berkelas tapi dipakai kayu durian dan kayu sembarang. Padahal anggaran untuk pembuatan getek tersebut Rp 300 juta lebih. Nggak bisa dibilanglah, untuk menyeberangpun nggak bisa, “ ujarnya.(md)

Sumber : Serambinews.com

Pedoman Pencegahan Konflik Manusia dengan Gajah Disusun

Mon, Nov 22nd 2010, 11:00

KUALA SIMPANG - Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Aceh menyusun pedoman penangananan dan pencegahan konflik antara manusia dengan gajah di Aceh guna mencegah kerugian bagi manusia dan satwa yang dilindungi tersebut. Draf tersebut sudah disampaikan kepada Gubernur Aceh untuk disahkan menjadi peraturan resmi.

Manajer Operasional BPKEL Aceh, Badrul Irfan dalam siaran pers yang diterima Serambi, Minggu (21/11) menyebutkan, tujuan penyusunan pedoman penanganan dan pencegahan konflik untuk mencegah kerusakan dan kerugian baik yang diderita manusia maupun satwa. “Menyelamartkan manusia sangat penting begitu juga menyelamatkan gajah,” tulisnya.

Dikatakannya, gajah merupakan salah satu satwa yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Di antaranya sebagai penyebar jenis tanaman hutan. Gajah juga dapat dimanfaatkan untuk membantu tugas manusia. “Sangat disayangkan bila sekarang gajah telah dianggap sebagai hama yang mengganggu kehidupan manusia,” sebut Badrul.

Saat ini diperkirakan hanya tersisa 700 ekor gajah di Aceh dari sebelumnya sebanyak 3.000 ekor. “Diperlukan upaya serius dan konsisten untuk melindungi satwa tersebut dari kepunahan sekaligus,” sebut Bandrul lagi.

Dikatakannya, draf yang dihasilkan BPKEL bekerja sama dengan BKSDA, FFI, VESSWIC, YLI, dan SILFA tersebut sudah disampaikan ke Gubernur Aceh untuk disahkan menjadi peraturan resmi yang akan menjadi pedoman setiap pihak di Aceh dalam mencegah dan mengatasi konflik gajah.(md)

Sumber : Serambinews.com

Minggu, 14 November 2010

Tujuh Desa di Tamiang belum Terjamah Infrastruktur

Mon, Nov 15th 2010, 08:56

KUALA SIMPANG - Kendati anggaran pembangunan untuk Aceh tergolong besar, namun masih ada tujuh desa di Kecamatan Sekrak, Aceh Tamiang, belum tersentuh infratruktur jalan dan jembatan. Anggota DPR RI Muslem dari Partai Demokrat mengungkapkan kondisi tersebut saat melakukan kunjungan kerja ke Desa Sikumur, Kecamatan Sekrak, Aceh Tamiang, Sabtu (13/11).

Beberapa kali mobil yang ditumpanginya terpaksa didorong dan penumpang diturunkan karena jalan dan jembatan rusak parah. Karena belum dibangun jalan darat, untuk menuju ke Desa Sikumur harus melewati jalan dari Kecamatan Banda Pusaka, kemudian rombongan naik getek menyeberangi Sungai Tamiang menuju desa yang dituju.

Camat Sekrak, Jalaluddin di hadapan warga Desa Sikumur dan anggota DPR RI Muslem dan Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang, Nora Idah Nita mengatakan, jalan yang rombongan lalui itu merupakan jalan yang sudah ada sejak Belanda. “Inilah kondisi suram sampai hari ini begitulah keadaannya namun lebih lebih suram lagi Kecamatan Sekrak,” ujarnya.

Dikatakan Camat, Kampung Sikumur sudah ada sejak 60 tahun lalu, tapi pembangunananya baru mau dimulai. Masih ada tujuh kampong, Juar, Sulum, Sikumur, Pematang Durian, Jambo Rambong, Suka Mulia yang belum memiliki jalan darat dan jembatan, selama ini warga menggunakan akses transportasi melalui jalur Sungai Tamiang.

“Kalau seperti ini Kecamatan Sekrak sama artinya Sekrak belum merdeka dalam arti pembangunan diberbagai bidang, sehingga pihaknya dibantu datok melakukan berbagai terobosan termasuk pada pemerintah provinsi,” ujarnya

Bayangkan, 60 tahun tidak dibangun jembatan dalan jalan, semua askesnya melalui boat, kalau tidak diperhatikan maka 30 tahun akan datang Sikumur tetap seperti ini. Namun, Camat juga mengingatkan warga agar bersabar karena untuk membangun tidak mudah seperti membalik telapan tangan.

“Kalau jalan terbangun, harga getah karet dari Rp 11 ribu bisa menjadi Rp 13 ribu. “Ini potret gelap desa terisolir dan suram di Kecamatan Sekrak, kalau tidak diperhatikan akan gelap gulita,” tambah Camat. Ia berharap Muslem memperjuangkan program pembangunan untuk kemajuan Aceh Tamiang khususnya Sekrak.

Saat ini badan jalan yang mulai dikerjakan, mulai dari Desa Lubuk Siduk menuju Desa Pematang Durian hingga tembus ke Desa Baleng Karang di perbatasan aatara Aceh Tamiang dan Aceh Timur sepanjang 40 kilometer

Menanggapi keluhan warga, anggota DPR RI, Muslem mengajak warga untuk tak bosan-bosannya memperjuangkan aspirasi untuk kemajuan daerah dan harapan jalan berlumpur ke depan bisa mendapat pengaspalan sehingga seluruh hasil pertanian yang ada di Kecamatan Sekrak bisa mempunyai nilai tambah untuk pendapatan ekonomi warga.

“Selama ini Aceh kita gaung-gaungkan mendapatkan anggaran yang besar yang diberikan pusat, namun kenyataanya masih banyak desa-desa yang belum terjamah infrastruktur jalan dan jembatan. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.(md)

Sumber : Serambinews.com

Dua Perusahaan Dilapor ke Polisi

Mon, Nov 15th 2010, 10:05
* Buka Kebun Sawit di Kawasan Ekosistem Leuser

KUALA SIMPANG - Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Aceh melapor dua perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Sumatera Jaya Lestari dan PT Bukit Safa ke Polres Aceh Tamiang karena diduga telah membuka kebun kelapa sawit dalam Kawasan Ekositem Leuser (KEL).

Staf bagian penegakan hukum BPKEL Aceh, Bagus Irawan kepada Serambi, Minggu (14/11) mengatakan, pihaknya sudah melaporkan dua perkebunan yang diduga melakukan pendudukan kawasan hutan negara dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Aceh Tamiang ke Polres setempat, Sabtu (13/11).

“PT Sumatera Jaya Lestari dilaporkan dengan Laporan Pengaduan No. TBL/187/XI/2010, sedangkan PT Bukit Safa dengan No. TBL/XI/2010,” sebut Bagus Irawan.

Kapolres Aceh Tamiang AKBP Drs Armia Fahmi yang ditanyai Serambi, Minggu (14/11) membenarkan telah menerima laporan pengaduan BPKEL terkait pendudukan KEL oleh dua perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Kita lakukan penyelidikan, jika terbukti statusnya kita tingkatkan,” ujar Kapolres.

Bagus Irawan menjelaskan, PT Sumatera Jaya Lestari menduduki lahan seluas ± 300 hektare (ha) dan PT Bukit Safa seluas ± 100 ha. Kedua lahan telah ditanami pohon kelapa sawit.

BPKEL mempidanakan kedua perusahaan yang berkedudukan di Medan ini, setelah keduanya dianggap tidak kooperatif untuk menyelesaikan perkebunan mereka yang berada dalam kawasan hutan negara sampai batas waktu yang telah ditentukan.

“Penyelesiaan di luar hukum terhadap kedua perusahaan ini praktis tertutup namun setelah dilaporkan ke Polisi, menjadi wewenang kepolisian untuk menindaklanjuti perkara ini,” tambahnya.

Menurut Bagus, PT Sumatera Jaya Lestari menduduki kawasan hutan negara tanpa ada izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dan dipastikan tanpa Hak Guna Usaha (HGU). “Ini artinya perusahan tersebut tanpa izin apapun,” ujarnya.

Sedangkan PT Bukit Safa memiliki HGU, tetapi melakukan perluasan lahan ke dalam kawasan hutan negara dalam KEL sehingga luas lahannya melebihi dari HGU yang diberikan.

Menurut Bagus, perusahaan pelaku pendudukan kawasam hutan negara dapat dijerat dengan UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 50 ayat 3 dengan ancaman pidana kurungan paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar, sesuai pasal 78 ayat 2.

“Selain itu, karena pelaku adalah badan hukum maka hukuman akan ditambah 1/3 dari vonis hakim, sesuai dengan pasal 78 ayat 14. Perusahaan juga dijerat dengan Pasal 80 dengan kewajiban membayar ganti rugi sesuai tingkat kerusakan untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan atau tindakan lain yang diperlukan,” imbuhnya.

Pelaku lainnya menyusul
Selain dua perusahaan tersebut, enam pelaku perambahan dan pendudukan kawasan hutan negara lainnya di Aceh Tamiang, juga segera dilaporkan ke kepolisian bila mereka tetap berkeras menggarap dan menduduki kawasan hutan negara.

Mereka yang diduga melakukan pendudukan kawasan hutan ini adalah Koptan Makmur (± 100 ha), Koptan Harian Hijau Perkasa (± 200 ha), Kursaidah (± 150 ha), Amir (± 40 ha), Silaban (± 65 ha), dan Afrianus (± 50 ha).

Dalam waktu dekat BPKEL juga akan menuntaskan kasus perusahaan HGU yang diduga melakukan ekspansi lahan ke dalam hutan lindung dalam KEL. Perusahaan ini adalah PT NW, PT DN, PT TR dan PT SKP.

“Kami masih menunggu verifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh mengenai beberapa lokasi yang kami duga berada diluar HGU perusahaan tersebut,” sebut Bagus.(md)

Sumber : Serambinews.com